Selasa, 05 April 2011

karya kacau

assalamu'alaikum semua!!


setelah karya sebelumnya dapat sambutan hangat, Nyenyes ini akan kembali mencoba memposting karya-karya yang selama ini tertidur dan emank sengaja ditidurkan di dalam tumpukan buku usang karena dengan lugunya Nyenyes Malu akan karyaya sendiri...

Saya prihatin akan diriku... hiks...


baiklah untuk karya berikut ini, mungkin sangat gak orisinil yah coz karya yang satu ini merupakan hasil percobaan pembuatan Cerpen pertama kali si Nyenyes setelah terinspirasi dari cerpen "Cinta Ya Cinta"... Nyenyes membuat cerpen ini skitar 5 tahun lalu saat baru kenal dengan Novel atau Kumcer! jadi maaf kalo karyanya jiplak banget!! yah untuk berjaga2 kalo penulis asli marah, kita anggap karya ini semacam "cinta ya cinta" versi Nyenyes! mohon maaf kepada penulis Asli karena Nyenyes yang menyedihkan ini telah meniru karyanya mentah2! mohon dimaklumi ya umur saat itu begitu muda dan gak tau gimana caranya mengembangkan sebuah ide menjadi cerita.. okey langsung aja dibaca cerpen tiruan ini! jangan lupa kritik dan saran juga yah!!


                            Kebimbangan Seorang Marbut
                                                                                                       Oleh Nyenyes wkt umur 13thn
   
          Di siang hari yang begitu terik, selepas para jamaah masjid menunaikan sholat zuhur, Aku melaksanakan ritual harianku. Di dalam masjid yang cukup besar ini, Aku selalu melakukan kegiatan membantu Pak Haji Rahman untuk membersihkan masjid, dan itulah ritual harianku.
   
          Sudah sepuluh tahun Aku membantu membersihkan masjid, serta di sinilah Aku tinggal, dirumah Allah yang begitu di cintai oleh seluruh umat islam di dunia dan karena itu Aku biasa di sebut Marbut masjid. Walaupun sebagai Marbut, Aku sangat bahagia karena dapat merasakan indahnya islam, tidak seperti sepuluh tahun yang lalu ketika aku masih menyembah patung yang disalib. Aku begitu heran, mengapa orang tua ku selalu menyembah patung yang tangan dan kaki nya di salib sedangkan ia tidak bisa bergerak, apakah sebuah patung bisa menolong manusai dari kesulitan? Akupun sangat bingung mengenai kepercayaan ku terhadap Tuhan. Tak henti-hentinya Aku selalu beropikir mengenai Agama ku ini. Pada suatu siang seusai pulang dari tempatku melahap semua ilmu duniawi, Aku tidak sengaja datang kesebuah tempat. Dimana tempat itu merupakan sebagai sarana ibadah oleh umat yang paling dibenci oleh kaum agamaku.
         Aku beristirahat sebentar disana karena udara di kota ini begitu menyengat. Di dalam tempat yang biasa di sebut umat islam Masjid  ini, Aku mendengarkan sebuah nasihat  atau lebih tepatnya ceramah yang disampaikan oleh seorang pemuka Agama yang cukup di hormati di daerah itu.  Kalau tidak salah isi ceramah waktu itu mengenai tragedi Poso, dimana dalam peristiwa itu kebanyakan umat Islam terbunuh oleh kebiadaban kaumku. Aku baru tahu kalau yang menyebabkan itu semua terjadi adalah ketamakan kaumku yang ingin menjadikan seluruh warga Poso beragama seperti ku. Aku tidak setuju mengenai tindakan mereka untuk menghancurkan seluruh masjid dan mengusir seluruh penduduk beragama Islam untuk keluar dari Poso. Tapi yang mambuat ku heran, mengapa orang Islam sangat sabar menghadapi semua serangan dari mereka. Ternyata setelah mendengarkan ceramah, Aku menemukan kunci dari kesabaran umat Islam, yaitu percaya kepada Tuhan mereka bahwa Tuhan mereka pasti akan menolong umat-Nya dari semua cobaan yang diberikan. Hati ku pun tersentuh setelah mendengar perkataan terakhir dari penceramah yaitu “setiap umat islam haruslah senantiasa bertawakal kepada Allah sehingga dimudahkannya persolan hidup”, walaupun Aku tidak mengerti apa arti dari kata tawakal itu.
         Setelah ceramah usai, aku langsung menghampiri penceramah untuk menanyakan arti dari tawakal, dan ternyata artinya adalah berserah diri kepada Allah ketika kita tidak menemukan jalan dalam pemecahan masalah. Akupun bertanya mengenai Islam lebih banyak lagi kepada penceramah yang ternyata  bernama Haji Rahman. Di setiap pertanyaan yang kuajukan Pak haji rahman selalu tersenyum dan membuat hatiku menjadi sejuk sekali serasa hembusan angina menerpa hatiku. Lalu akupun semakin tertarik dan semakin yakin mengenai mangubah kepercayaan ku menjadi panyembah tuhan yang Maha Esa Allah swt. Aku meminta pak Haji Rahman untuk mengubahku manjadi seperti dirinya, orang islam. Ternyata tidak begitu rumit seperti yang ku bayangkan, tinggal mengucapkan 2 kalimat syahadat yaitu asyhadu ala ilaha ilallah wa asyhadu anna muhammadurasulullah yang artinya Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Setelah selesai proses yang begitu singkat, jadilah Aku orang yang beragama baru ISLAM sebagai seorang Mualaf. Ketika aku membicarakan mengenai pindahnya kepercayaan ku kepada orangtuaku, seketika itu pulalah aku di usir dari rumah dan kembalilah aku ke masjid ini .

                                                                             ***
    “A’udzubillahiminasyaithoonirrojim Bismillahirrahmaanirrahim”
    itulah tanda pengajian disiang hari yang diketuai oleh seorang wanita shalehah, yang umurnya terpatut 2 tahun dibawah ku akan segera dimulai. Aisyah, itulah nama wanita anggun yang selalu menjadi panutan kaum hawa sekitar. Muslimah itu lulusan universitas Al-Azhar yang terkenal itu, dan wanita itu adalah anak satu-satunya Pak Haji Rahman. Aku sangat mengagumi wanita yang senantiasa menjaga auratnya itu. Aku selalu mencuri pandang ke arhanya ketika Aku melaksanakan tugasku. Apakah Aku jatuh hati pada wanita itu? Perasaan dan hati ku kini sangat kacau ketika memikirkannya.
   
         “Cinta itu Anugerah Yusuf, yang diberikan Allah kepada setiap Insan yang memiliki hati. Tapi perasaan akan cinta itu dikendalikan oleh nafsu.” Kata Musafir yang mampir ke masjid kami.
         “apakah Aku pantas memiliki rasa yang begitu menyiksa hatiku ini, sedangkan Aku hanyalah seorang Marbut Masjid ?.” kataku pada musafir itu.
        “Tapi kau berhak memiliki rasa yang indah itu, karena rasa cinta itulah setiap manusia bisa hidup.” Jelas sang Musafir lagi.

         Hari-hariku begitu bahagia setelah mendengarkan kalimat yang di ucapkan Musafir itu, tapi hatiku tak sanggup lagi untuk menahan teriakan-teriakan perasaan yang terus berusaha mendobrak nurani ini. Aku bagitu tak tahan akan perasaan ku sebenarnya. Hingga larut malam pu aku terus memusingkannya.

         Waktu yang paling membuatku miris, ketika pengajian yang dibimbing wanita lulusan Al-A zhar sedang berlangsung. Akhwat-akhwat itu selalu mencuri pandang kepadaku, berbisik-bisik sambi menatapkuyang tak lainpasti membicarakanku. Aku begitu bingung mengapa mereka selalu berbisik-bisik dan melihatku ketika aku sedang melaksanakan kegiatanku. Apa ada yang salah debgan pakaian ku yang sangat sederhana ini? Tapi aku cepat-cepat membuang pikiran bodoh yang menghantuiku itu. Ketiak pengajian selesai, selalu ada anak yang datang menghampiriku untuk menyapa atau hanya sekedar mengucapkan salam.

         “Mas Yusuf, ada salam tuh dari ranti.” Kata anak perempuan yang memakai jilbab warna birun yang senada dengan pakaiannya
         “Mas, Shinta nitip salam buat Mas Yusuf.” Kata anak kedua yang sembari tersenyum nakal melihatku.
        “ Mas Yusuf yang rajin, ada se-truk salam tuh daru Risma.” Celoteh gadis ketiga beserta senyuman yang bagiku adalah senyuman penggoyah imanku.

         Aku tak da pilihan lain menanggapi salam-salam tersebut kecuali mengucapkan, “wa’alaikumussalam.” Perkataan-perkataan yang tersebut membuatku tambah menderita, karena aku tak pernah berhenti memikirkan bidadari impianku. Tinggi, putih, bersih dan tampan; orang- orang selalu mendeskripsikan aku, alih-alih Aku membersihkan masjid  yang sudah mendarah daging. Tapi, yang buatku bingung, bimbang akan nuraniku ini, ketika seorang gadis remaja menyapaku.
            “Assalamualaikum, Mas yusuf”
           “Waalaikumussalam, ada apa toh neng?” tanyaku padanya tanpa memikirkan apa yang akan dikatakannya setelah itu,
           “ndak ada apa-apa mas. Rani Cuma mau tanya kenapa sih mas ganteng-ganteng kok jadi marbut?”
deguar!!! serasa ada petir yang langsung membakar tepat di hatiku ketika anak yang bernama Rani itu mengucapkan apa yang aku takutkan. Aku membatu beberapa saat hingga Rani menghentikan lamunanku.
          “Mas, mas yusuf kenapa bengong?” terlihat rasa bersalah dari muka Rani.
          “Tidak ada apa-apa neng! Mas mau shalat ashar dulu yah.”

          Aku langsung mengambil air suci dan langsung mendirikan shalat serta mengadu mengenai kebimbanganku
         “Ya Allah Apa aku pantas mendapatkan cinta Aisyah yang begitu cerdas dan cantik? Sedangkan Aku hanyalah manusia rendah yang terus-terusan mengumandangkan adzan dengan suara parau ku.” Bisik hatiku pelan.

    Selepas sholat isya’ pada malam yang bermandikan bintang, Aku dipanggil oleh Pak haji Rahman untuk makan malam bersama.
    “ Yusuf, bisakah kamu datang kerumahku untuk makan malam bersama? Sekalian merayakan Ta’aruf buat anak tunggal ku.”
        Hati ku membeku tak karuan mendengar perkataan Pak haji Rahman, lalu Aku mengangguk pelan tanda menyetujui ajakan ayah Aisyah. Diperjalanan menuju rumah Pak haji, Aku bertanya-tanya mengenai siapa pasangan Aisyah yang jelas seribu lebih baik dariku. Akupun mengetuk pintu rumah Pak haji sebanyak tiga kali sesuai ketentuan dalam Al-qur’an yang menganjurkan mengetuk pintu sebanyak tiga ketukan beserta salam. Lalu pintupun terbuka dan Aku di persilakan masuk oleh Pak haji Rahman. Di ruangan itu telah di hidangkan berbagai macam masakan. Di sebelah guci yang bermotifkan Ka’bah, ibu haja Rasyidah tersenyum lembut kepadaku, dan di sebelahnya gadis yang kuangankan duduk dengan anggunnya, memakai jilbab coklat yang berpadu dengan baju muslimnya yang berwarna coklat juga membuatnya lebih menawan. Tapi dimanakah laki-laki yang akan dijodohkan dengan Aisyah? Semua pertanyaanku terjawab ketika kami semua duduk dan kemudian Pak haji Rahman mulai berkata,
       “Mari kita mulai Ta’arufnya.”
        Akupun terheran-heran siapa yang jadi pasangan Aisyah yang beruntung itu dan mengapa ibu haja Rasyidah sekali lagi tersenyum Hangat kepadaku.




                                                                        ***THE END***