Jumat, 25 Maret 2011

i'm back again...

assalamu'alaikum ya akhi wa ukhti smua!!! dengan cerianya saya akan mulai menghidupkan kembali Blogie ku yang sempat diopname gara" keteledoranku... mohon maaf yang sebesarnya ya Blohie ku tercinta.. hikz... oke!! kita sudahin dulu bersedih rianya! selanjutnya untuk mengisi diari yang kosong ini saya akan memulai dengan karya nyenyes ini dalam perlombaan cerpen islami... gak menang sih tapi sebagai hiburan gakpapalah dipajangi... mohon maaf bila cerpennya kurang bagus dan menuai banyak kritik dan itulah yang nyenyes harapkan... kritik dan saran dari yang membacanya... silakan membaca...
Cinta Ilahi
Oleh :Nyenyes
            Semilir angin yang bertiup dari arah tenggara kota Palembang itu, sejuk membelai dengan lembut wajah seorang pemuda yang sarat akan makna kehidupan. Kuning lembayung warna langit tercetak jelas berada berkilometer jauhnya di ufuk barat yang menandakan waktu ashar telah berakhir. Riak-riak gelombang sungai Musi memberi susasana ketentraman di hati, dan sebagai pelengkap kenyamanan sore itu, mulai terlihat kerlip lampu di badan bangunan kokoh yang angkuh dan dengan sombongnya berdiri tegak manaungi sungai terbesar dan terpanjang di Sumatra itu.
            Sesosok pemuda yang berdiri di atas jembatan pemisah sungai Musi, terlihat menatap nanar ke arah sungai kebanggan rakyat Palembang. Kekalutan hati pemuda itu terlihat jelas dari betapa banyaknya kerutan yang bertengger di wajah kerasnya. Titik-titik air mata mulai mengalir layaknya menirukan arus sungai yang dilihat, dan entah bagaimana pikirannya terus berputar melampaui batas waktu yang telah lalu.
****
            “Papa tak peduli lagi dan papa tak mau ambil pusing dengan tingkah laku anehmu itu. Cepat sekarang tinggalkan rumah ini!!” terdengar hentakan marah dari sebuah rumah petinggi agama kristiani dan mulai mengusik perhatian warga sekitar.
            “Mama bisa ngerti kan gimana keadaan Rino sekarang? Tolong jangan usir Rino. Rino bakal jelasin semua perbuatan Rino ini.” Pinta Rino pada mama yang selalu memberinya kehangatan tatkala hatinya penuh gejolak  pertentangan.
            “Mama tak bisa membantumu nak. Perbuatanmu ini sangat kelewatan. Mama tak menyangka mendapatimu sedang sholat layaknya orang islam. Kamu tahu sendiri, papamu adalah orang yang sangat berperan di gereja. Mama hanya bisa berpesan, berhati-hatilah dan jangan sampai mati.” Cecar sang mama dengan tidak memberikan kesempatan pada Rino untuk memperkuat argumennya mengenai hijrahnya keyakinan dirinya kepelukan islam. Rino pun langsung bungkam dan tak mau berlarut dalam masalah kepercayaan ini. Ia yakin ia pasti bisa mengatasi masalahnya kini yang cukup pelik.
            Ketika kakinya mulai tak sabar untuk meninggalkan rumahnya, Rino berbalik dan meminta maaf atas perbuataanya yang bisa merusak nama baik keluarganya.  Tak ayal lagi, saat ia mulai membelok di sudut gang rumahnya, mau tak mau ia merasa sedikit takut akan pesan terakhir mamanya untuk berhati-hati. Awalnya, ia tak begitu mengerti apa maksudnya agar berhati-hati dan jangan sampai mati, tetapi seiring berjalannya waktu, ia pun mulai menyadari arti tersembunyi dari pesan sang mama. Satu persatu orang tak dikenal berusaha untuk melukainya. Mulai dari hal kecil yaitu mendorongnya hingga hampir menikamnya dengan pisau. Tak percaya dengan apa yang dihadapimya, Rino mulai mawas diri dan terus membentengi dirinya dengan ibadah agar dilindungi Allah tuhan pemberi hidayah. Dan belakangan ia tahu, kalau yang berniat membunuhnya adalah suruhan kaum gereja tempat ia dahulu selalu melakukan ibadah karena mereka menganggap orang yang keluar dari agama kristiani sebagai pengkhianat dan pantas untuk dilukai.
            Sepergi meninggalkan kediamannya yang nyaman, Rino bingung dan tak tak tahu akan tinggal dimana. Ia juga dari awal sudah tahu konsekuensi atas tindakannya untuk mengikuti kepercarayaan orang yang di kaguminya. Ya, ia memilih untuk masuk kedalam rangkulan islam karena mengincar seorang gadis jilbaber yang setiap hari dilihatnya keluar masuk masjid Agung untuk berorganisasi. Rino yang seorang kutu buku, sangat rajin dan tak pernah lelahnya untuk mencari buku apapun, mulai dari terbitan baru sampai terbitan lama yang susah ditemukan tetap dicarinya. Dari kegiatan rutin hunting buku itulah ia bertemu seorang putri hawa, yang dimatanya layak masuk  dalam daftar bidadari penghuni firdaus tempatnya para syuhada’ tinggal. Semenjak dirinya bertatap mata dengan bidadari yang dikaguminya, Rino tak hentinya terus memikirkan bidadari itu. Ia selalu berusaha dengan segala cara agar bisa bertemu dengannya. Cara yang ia gunakan bermacam-macam, dan salah satu cara yang paling ekstrem menurutnya ialah memasuki masjid Agung dan berpura-pura sholat didalamnya layaknya seorang muslim, hanya untuk ‘melihat’ sang bidadari itu.
            “Fiuh... untung aku dulu bersekolah di sekolah negeri yang mayoritas siswanya beragama islam, jadi aku sedikit bisa gerakan dalam sholat.” Batin Rino saat ia meneguhkan hati untuk berani masuk kedalam masjid.
            Mulai dari situ Rino selalu melakukan ritual rutinnya setiap hari sepulang kuliah. Ia sekarang tak canggung lagi melakukan gerakan sholat pura-puranya ditengah orang muslim, walaupun ia hanya diam saat melakukan gerakan yang dianggapnya cukup rumit itu.
            “Ya Tuhan mengapa engkau menciptakak seorang wanita yang mampu menarik hatiku dari keturunan islam?” Rino mengeluh pada Tuhannya suatu waktu ia mencuri pandang ditengah kegiatan sang bidadari, dan lambat laun Ia  merasa tak mampu lagi meneruskan aksi pengintaian serta mulai berusaha untuk berkanalan dengan wanita pujaannya Aisyah. Belakangan ia tahu wanita yang dikaguminya bernama Aisyah dari temannya yang satu organisasi dengan sang bidadari. Rino kagum dengan Aisyah karena Rino merasa kalau Aisyah tak pernah lelahnya berorganisasi. Selain itu, ia juga merasa kalau Aisyah sangat berbeda dengan makhluk bernama wanita yang pernah dikenalnya. Untuk memulai perkenalan dengan Aisyah sangatlah sulit, apalagi keyakinan yang dianut diantara mereka sangat jauh berbeda. Memang sih kalau dari segi ajaran tetaplah sama, yakni sama-sama mengajarkan untuk berbuat baik, dan kalau dipandang dari segi akidah keduanya sangat jauh berbeda. Tetapi hal itu tak menyurutkan semangat Rino untuk berkenalan dengan Aisyah.
            Suatu sore selepas sholat ashar, ketika Aisyah hendak bergegas pulang, Rino memberanikan diri untuk mendekatinya. Dengan berbekal kayakinan dan kepercayaan diri yang cukup, ia membuka mulut untuk menyapa wanita dengan tatapan sendu itu.
            “Hai... boleh gak kita kenalan?” sapa Rino waktu ia telah berhadapan dengan Aisyah. Mendengar perkataan yang tiba-tiba itu Aisyah sangat terkejut karena yang menyuarakan sapaan tersebut ialah orang yang sangat asing baginya. Aisyah yang merupakan seorang muslimah taat, ia tak menghiraukan laki-laki asing yang berada dihadapannya. Aisyah berdiri diam menunduk memandangi sepatunya seolah-olah sepatunya akan berlari meninggalkannya. Melihat reaksi diam yang dipancarkan Aisyah, Rino menyapa sekali lagi.
            “Halo! Apa kamu dengar perkataanku? Boleh kenalan?” desak Roni pada Aisyah. Tetapi kali ini Aisyah mulai melangkahkan kakinya meninggalkan si pemuda asing itu. Perjuangan Rino tak habis sampai disitu, ia terus menyapa Aisyah tetkala bertemu, walaupun ia tahu Aisyah pasti akan diam seribu bahasa seperti saat pertama kali bersapa. Tetapi akhirnya kegigihan Rinopun membuahkan hasil, walaupun cuma satu kalimat yang meluncur dari bibir si jilbaber manis Aisyah.
            “Maaf, aku seorang muslim dan aku tahu dari temanku, kau adalah Rino dan kamu nonmuslim.” Mendengar perkataan itu, Rinopun merasa putus harapan dan sangat bingung, karena telah mengetahui syarat agar bisa berbicara dengan Aisyah adalah dengan beragama ’islam’. Pertama kali yang dipikirkan saat mendengar perkataan Aisyah adalah ia harus beragama islam dan itu berarti mengubah keyakinan dirinya sejak lahir dan menentang orang tuanya sendiri. Merasa perjuangannya sia-sia jika ia harus berhenti saat itu, Rino bertekad dengan sepenuh hati untuk berhijrah keyakinan. Toh ia juga sedikit-sedikit bisa melakukan ibadah umat islam. Setelah berdiskusi dengan beberapa temannya dan tanpa sepengetahuan orang tuanya, Rino telah membulatkan tekadnya untuk mengucap dua kalimat syahadat yang dibimbing oleh seorang kiyai didalam masjid tempat ia melakukan pengintaian.
            Hari demi hari Rino jalani ibadah barunya dalam penuh kerahasiaan dari orang tuanya. Rino belajar memperdalam ilmu islam dari teman-temannya dan dibimbing oleh kiyai yang membantunya masuk islam.  Misi utama Rino harus bisa mendapatkan hati Aisyah dengan rajin beribadah. Dan benar saja, Aisyah pun mulai melirik kepada Rino yang tiap hari makin rajin datang ke masjid bukan untuk pura-pura sholat lagi, tetapi sholat sungguhan serta ikut membantu bersih-bersih masjid jika ia senggang.  Sejak terucapnya dua kalimat suci dari mulutnya, kehidupan Rino mulai jungkir balik bak seorang pemain akrobat, yang biasanya selalu ogah-ogahan pergi ke gereja seminggu sekali, ini malah lima kali sehari sholat yang awal pikirannya dulu sangat merepotkan. Perlahan-lahan niat dan tujuan awalnya memeluk islampun sedikit luntur dari hatinya yang kini sedikit teduh.
****
            Kebingungan Rino terus berlanjut selepas kakinya meninggalkan rumah karena diusir atas kepindahan agamanya. Ia terus meniti jalan dengan pikiran kosong, tetapi hatinya dipenuhi dengan keyakinan kalau Sang Maha Cinta akan terus mencintai umatnya yang yakin kalau pertolongan-Nya itu nyata. Dengan berbekal keyakinan itu, Rino mendapat pertolongan dari pak kiyai yang pernah membantunya. Pak kiyai itu menyarankan Rino agar ia  tinggal sementara di masjid sekalian membantu kegiatan rumah tangga masjid, mulai dari bersih-bersih hingga menjadi mu’adzin tiap waktu masuk sholat. setelah beberapa waktu, tinggal di masjid, Rino mulai melihatkan kesungguhannya untuk belajar ‘islam’. Melihat kesungguhan Rino, pak kiyai mengizinkan Rino untuk tinggal di masjid sebagai marbut. Rino merasa sangat bersyukur akan pertolongan itu.
            Tahun pun bergulir meninggalkan keteguhan di hati Rino yang semakin kuat. Pembicaraannya dengan aisyahpun terus berlanjut walau cuma bersapa ‘hai’, dan itu membuat Rino semakin bersyukur kepada Allah. Serta Rino telah berniat untuk melamar Aisyah dengan bantuan pak kiyai yang sering menolongnya, apabila ‘islam’nya telah sempurna. Dan itu berarti mulai sekarang kesungguhan beribadah terus ditingkatkan agar ia tak menjadi mulsim yang setenga-setengah.
****
            “Ya Allah mengapa Engkau memberi kakalutan dalam hidup hamba? Hamba telah bersungguh-sungguh menyembah-Mu dan berusaha mendapatkan Ridhomu, tetapi mengapa hidup hamba tambah berat? hamba merasa tak sanggup lagi memanggul beban cobaan yang Engkau berikan.” gumam pemuda bernama Rino diiringi hembusan angin yang terus bertiup lembut dikala waktu menandakan maghrib segera tiba. Di atas jembatan Ampera yang menghadap ke arah Benteng Kuto Besak itulah tempat favoritnya untuk menyegarkan hatinya yang sedang kalut. Tetesan bening air matanya diseka tatkala ia ingat kejadian beberapa hari yang lalu. Aisyah, wanita yang sangat dikaguminya, telah pergi dahulu meninggalkannya untuk menghadap tuhan Sang Maha Pengambil karena panyakit yang bersemayam di dalam tubuh mungilnya. Rino tak dapat menerima peristiwa itu, ia sangat mencintai Aisyah. Dan yang sangat membuatnya terpukul, adalah saat terakhir kali pembicaraanya dengan Aisyah, saat ia hendak mengutarakan rasa ‘aneh’ dalam dirinya.
            “ Cinta itu hanya milik Allah Rino, Aku takut Allah akan cemburu kepadaku. Dan karena itulah cintaku hanya milik Allah semata. Bila kau mencintai diriku, cintailah Allah terlebih dahulu, kerena Allah adalah tuhan yang menciptakan cinta itu sendiri.” Itulah pesan terakhir Aisyah padanya. Rinopun sangat terpukul dengan segelintir peristiwa yang terus mendatangi  hidupnya, mulai dari di usir dari rumahnya hingga kepergian Aisyah yang begitu tiba-tiba. setelah merenungkan kata-kata terakhir Aisyah akhirnya Rinopun menyadari betapa kelirunya ia selama ini.
            “Ya Allah, maafkan  hamba yang tak tulus menyembah Mu. Maafkan hamba yang membentengi diri dari cinta dengan agama Mu. Maafkan hamba yang selalu berlari di atas dilema hidup ini. sekarang hamba menyadari betapa bodohnya hamba yang telah berpaling dari cintamu yang lebih nyata. Dan sekali lagi tolonglah hamba agar hamba tak pernah jauh dari cinta Mu. Ya Robbi.”
            Keadaan sore itu telah membuat perubahan besar dalam diri Rino beriring perubahan langit yang menjelma malam. Adzan maghrib telah membahana membelah langit senja hari itu dan Rinopun pergi meninggalkan Ampera seperti Allah meninggalkan sebersit cinta dihatinya, dengan perasaan tenang, setenang riak-riak kecil gelombang sungai Musi. Di iringi senyum yang ikhlas untuk menghadap sang Maha Cinta, Rino menyenandungkan sajak Jalaludin Rumi yang sekarang sangat dipahaminya.
            “Pulanglah kepangkuan Allah sang Maha Cinta, maka Ia akan memelukmu dan ia tak akan melepaskan kepergianmu......”
SELESAI